#Prolog
Bintang-bintang mulai menghilang diatas langit. Menyisakan bulan yang semakin memudar cahayanya. Fajar. Adalah waktu yang paling kusukai. Saat angin lembut dan semerbak kesegaran embun menyapa. Ketika suara-suara penyeru itu memanggil. Membuat semakin terasa dekat dengan Sang Pencipta. Mengingatkanku pula pada dia yang juga tak ku pungkiri mendekatkanku pada-Nya. Kepada Ia, Sang Pemilik segala kebaikan.
Menyegarkan. Setiap pagi tak hentinya kebiasaan ini kulakukan. Berdiri di tepi pagar balkon rumah, menghirup udara pagi sambil menikmati pemandangan persawahan didepan rumah, diiringi dengan lantunan favoritku itu, Al-Fajr. Selalu kusisihkan waktuku dipukul 05.00 hingga dua belas menit kemudian. Suamiku tak pernah melarang. Mungkin karena aku telah meminta izin padanya dahulu. Atau memang karena kebaikan hatinya, aku tak tahu pasti. Terkadang, jika sedang tidak sibuk, dia pun ikut menemaniku. Menghabiskan waktu bersama di waktu yang kusukai. Tetapi hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah bisa lagi mengulang masa-masa indah itu. Mas Raihan tak lagi bisa menemaniku dirumah kecil kami ini. Dia tak lagi disini.
Aku sedang mengingat masa pertemuanku dengannya, ketika si kecil Fajri berlari-lari ke arahku.
"Ibu, Ibu..! Kak Muthmainnah nakal, Bu. Masa kata kakak, Ibu nanti tidak mau ambilkan rapor Fajri hari ini? Kakak bohong, kan, Bu?"
Fajri mengadu dengan memajukan bibir mungilnya. Lihatlah, ia masih sangat lucu dan menggemaskan. Pantas saja Muthi suka mengganggu. Selalu menyenangkan melihat raut wajah Fajri jika sudah begini.
"Wah, kalau Kak Muthi tidak bohong bagaimana?" tanyaku balik setelah bertekuk menyamakan tinggiku dengannya sembari memegang bahu putra tersayangku yang baru duduk di kelas tiga SD ini.
Wajah Fajri sontak merengut, tidak percaya.
"Yah, Ibu kok begitu? Tidak asyik, Fajri tidak suka. Pokoknya nanti Ibu harus datang, kalau tidak, Fajri tidak mau berangkat,"
"Lho, memangnya tadi Ibu bilang, Ibu tidak akan datang?"
Fajri terlihat mencerna kalimatku barusan, lalu nampak mengingat percakapan kami sejak awal. Detik berikutnya, putra kecilku ini nyengir sendiri. Membuatku tak kuasa untuk mengacak-acak rambutnya pelan, gemas.
"Tentu saja Ibu datang. Kan, Ibu mau lihat anak shalih Ibu juga pintar disekolah. Nah, sekarang kamu bilang ke Kakak ya. 'Kakak, Ibu bilang kalau Kakak tidak bohong dan jujur, nanti Allah kasih surga. Kalau kakak bohong, berarti.... Kakak harus istighfar dan minta maaf'. Oke?"
Belum selesai kalimatku, Fajri segera berlari masuk ke dalam. Pasti senang sekali jika kakaknya harus kalah dan minta maaf padanya.
Memandang putraku yang gembira, aku menghembuskan napas lega. Anak-anak, merekalah salah satu kebahagiaan yang masih kumiliki sekarang. Terimakasih Tuhan.
Aku kembali memandang langit yang mulai berubah cerah. Hingga kurasa cukup sudah, aku akan memulai pagiku yang baru ini. Meninggalkan sejenak memori-memori indah itu disini. Hilang menguap bersama fajar yang telah berganti.
***
#Dua pencari Fajar
Usai menghadiri syukuran pernikahan itu, kuputuskan untuk melanjutkan proses tawaran pemindahan tempat kerja ke luar negeri dari atasanku tersebut.
"Mar.. Mardhatillah?" Elsa memanggilku pelan. Membuyarkan lamunanku seketika. Ternyata dia sudah kembali dari kamar mandi. Ah, aku ketahuan.
"Kamu masih kepikiran ya?" tanya gadis berumur dua puluh tiga tahuin itu menyelidik.
" Tidak, kok. Aku hanya sedang mengingat keluargaku, bagaimana nanti jika mereka rindu aku sementara aku sedang di LN nanti. Itu saja," aku berkelit.
Dari gestur wajahnya, ia jelas tak percaya. "Kamu tidak bisa bohong dengan tipuan itu, Mar. Bukankah kamu lebih paham IT dariku. Apalagi zaman semakin canggih ini. Alasanmu kurang tepat, Mar."
Baiklah, Elsa benar. Untuk orang yang sudah 7 tahun lebih mengenalku itu, bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah berkelit darinya. Aku terlalu bodoh mencari alasan. Untuk kemudian, hanya membuatku menertawai diri sendiri. Kekehan yang semakin menyesakkan hati.
"Kau jadi ingin ke Istanbul, Mar? Keputusanmu ini bukan karena kau ingin lari dari kenyataan, kan?"
Degh!
Tenggorokanku serasa tercekat. Elsa begitu pandai menebakku. Lidahku sungguh terasa kelu.
"A.. Aku.. aku tidak tahu, Sa"
Elsa tampak menghela napas panjang. "Mar.. Mar.. semoga waktu selalu berbaik hati padamu. Tak mengapa, pergilah kawan jika memang itu yang terbaik". Elsa menepuk-nepuk pundakku. Seakan mentransfer energi positif yang selalu dimilikinya. Seolah memberikan kekuatan dan semangat baru.
Elsa. Kukira dia akan marah dengan keputusanku ini. Menganggapku sebagai pengecut. Tapi ternyata tidak. Syukurlah. Jika Elsa, sahabatku yang paling bijak itu pun sudah menyemangati. Aku benar-benar yakin dengan keputusanku ini. Istanbul, tunggu dan terimalah kedatangan jiwa yang ingin mencari ketenangan ini.