Bapak telah dipeluk bumi pagi itu. Namun
bagiku, Bapak dan semua teladannya akan
tetap selalu hidup didalam hati.
**
Ini rahasia kita. Dan kumohon jangan
coba beritahu siapa-siapa. Bahkan adik-kakakku sekalipun. Bahwa semenjak Bapak
pergi. Aku selalu merasa harus menjaga keluarga kecil kami. Lebih khususnya
menjadi sang penjaga tumbuh kembangnya dua adikku, Dika dan Imam. Yang baru
menginjak bangku SMP dan yang sedang duduk dikelas 5 SD.
Itu rahasiaku. Iya, meski aku adalah
anak kedua. Dan walau aku hanya seorang anak perempuan Bapak.
**
Lebaran Idul Fitri satu hari lagi. Dan
aku baru bersiap mudik hari ini. Padahal kampus sudah begitu sepi sejak
beberapa hari yang lalu. Kalian mau bilang aku tidak kangen rumah? Yang benar
saja. Aku justru sangat rindu sejak sahur pertama Ramadhan kemarin. Namun
penelitian skripsiku di Laboratorium kampus tidak bisa kutinggalkan seenaknya.
Jadilah, H-1 aku baru berkesempatan pulang menjumpai keluargaku. Dan syukurnya,
perjalanan Jogja-Semarangku tidak macet. Membuat kebahagiaan dihati semakin
bertambah-tambah..
“Bu..! Mbak Riri pulang!!”
Belum aku mengucap salam, baru kelihatan
ujung hidungku dipengkolan jalan kecil samping rumah, Imam sudah berlarian
masuk. Meski sempat tertawa kecil, sejenak kemudian aku pun juga ikut berlari
mengejar Imam kedalam rumah. Menjumpai satu-satunya Ibu kami, serta melepas
rindu dihati untuk semua anggota keluarga yang selalu ingin kujaga semampuku.
**
“Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu
akbar..
Laa ilaaha illallaahu.. Allaahu akbar.
Allaahu akbar.. Wa lillaahilhamdu.”
Takbir bergema disetiap sudut kota.
Semua orang tampak bersemangat menyerukan suara kemenangan setelah berpuasa
sebulan lamanya. Membuat hati demi hati yang mendengar bergetar karena buncah rasa
syukur. Pun juga mengingatkan sebagian hati yang menatap langit cerah pagi ini,
bahwa perjuangan justru kembali dimulai dan bukan berakhir. Perjuangan
meramadhankan setiap hari yang berganti.
“Dik, besok mbak Riri titip salam ya
sama si Mbah Putri,” ujarku di jalan, setelah menyelesaikan tur silaturrahim
satu gang bersama keluargaku.
“Mbak, benar tidak jadi ikut ke kampung
Bapak?” Dika menanggapi.
“Iya, nggak apa-apa. Mbak jaga rumah
saja. Kalian hati-hati berempat besok ya?”
Dika menatapku. Tersenyum meyakinkan. “Oke, sip mbak! Insya Allah.”
**
Dan hari pertama lebaran berlalu dengan
kunjungan beberapa tetangga dan sanak saudara yang lebih sepi dari
sebelum-sebelumnya. Sebab nenek –ibu dari
Ibuku– juga baru menghadap Illahi
pertengahan Ramadhan kemarin. Tapi tak mengapa. Karena didunia ini, sebenarnya
ada banyak hal yang diambil, tanpa mengambil apapun. Seperti diberi, tanpa
memilikinya secara utuh. Layaknya semua yang ada pada diri kita, sejatinya tak pernah kita punyai. Jadi ketika
Tuhan mengambilnya, maka kita harus rela melepaskan, sesedih apapun. Karena itu
memang milik-Nya. Bahkan diri kita sekalipun.
“Mbak Riri… ada lihat ikat pinggang Imam
tidak?” teriakan Imam menyadarkan lamunanku. Adik laki-laki terkecilku sudah
ganteng sepagi ini. Hanya kurang ikat pinggang yang lupa semalam dimana
ditaruhnya.
“Itu didalam lemari, tadi malam mbak
gulung,” sahutku dari ruang tengah. Terdengar tawanya ketika berhasil menemukan
barang yang dicari. “Makanya, adek cari dulu baik-baik,” aku meledek, menggarai
Imam.
“Iya, iya. Makasih mbak,” jawab si
bungsu dari kamar.
“Namanya juga Imam, Ri” Ibu tertawa
kecil disampingku. Mereka bertiga –Ibu, mas Rifki dan Dika– sudah siap dan
duduk manis diruang tengah bersamaku. Tinggal menunggu Imam.
Jam delapan kurang sembilan menit. Sebentar
lagi mereka akan berangkat dari rumah menuju terminal, naik bus antarkota ke
Solo. Tiga menit kemudian, Imam pun selesai
dengan persiapannya.“Ya sudah, Ibu sama adik-adik juga mas mu pergi dulu ya.
Titip rumah,” pamit Ibu dengan senyum khasnya.
“Iya bu, hati-hati dijalan. Sampaikan
salam Riri buat si Mbah Putri di Solo ya, bu.”
Ibu mengangguk. “Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah,” aku
melepas kepergian mereka dipintu rumah setelah mengacak-acak rambut Imam,
bilang jangan rewel. Yang tentu saja dibalas raut kesal Imam sebab tadi sudah rapih disisirnya.
Dan aku memang tidak ditinggal
sendirian. Ada Tanteku, adik Ibu, yang juga menjaga rumah bersamaku. Dan
pamanku, kakak Ibu, rumahnya tak jauh pula didepan rumah kami. Tidak ada yang
perlu ditakutkan.
Maka hari itu, setelah mereka pergi
kuputuskan untuk membereskan kamar Ibu. Sementara Tante diajak pergi
jalan-jalan sebentar oleh Paman untuk menghilangkan kesedihan hati yang mungkin
masih tersisa. Sebab Tanteku adalah yang paling terdekat dengan mendiang nenek.
Adalah Ibu, seseorang yang cukup sibuk
dirumah. Mengerjakan banyak hal sekaligus sendirian. Jadi maklum saja jika
semua tak bisa begitu sempurna di bereskannya. Apalagi adik-adik juga masih
agak kecil, belum terlalu bisa mengurus diri sendiri.
Dirumah sederhana kami hanya ada tiga
kamar. Bahkan itu jika tempat mas Rifki beristirahat bisa disebut kamar, sebab
memang tidak ada sekat dinding penutupnya. Satu kamar milik Tante dan mendiang
nenekku sebelumnya. Satu lagi kamar Ibu juga adik terkecilku, Imam. Dulu Dika
juga masih tidur bersama Ibu dikamar ini. Tapi semenjak Dika sudah sunat enam
bulan lalu dan baligh, dia pindah menemani Mas Rifki. Dan aku, jika pulang
menginap, tidur dimana saja tidak masalah. Bisa menyelip ditengah nenek dan
tante. Dikamar Ibu yang hangat. Atau di kursi kayu panjang ruang tengah. Aku
memang satu-satunya anak perempuan Bapak dikeluarga sederhana kami. Kadang bisa
sok tomboi dan kadang bisa sok feminine juga. Tergantung situasi kondisi, hehe.
Jadilah, pagi ini sisi femininku bekerja.Aku akan membantu meringankan sedikit
tugas Ibu. Merapikan kamar yang kadang suka diberantakkankembali oleh dua
adikku tersayang. Tidak mengapa jika rapinya tak bsa bertahan lebih lama jika
mereka sudah pulang besok. Yang terpenting, semoga ada senyum yang bisa kulukis
saat Ibu melihat kamarnya rapih dan beres.
Seperti pekerjaan merapikan biasanya,
maka ku mulai membereskan kamar dengan membongkar barang-barang yang ada.
Memilah dan memilih. Barang yang masih penting, tetap disimpan. Barang yang sudah
habis kegunaannya, tidak lagi penting, kusisihkan untuk dibuang. Apalagi dua
bocah kecil itu banyak menyerundukkan kardus-karus dibawah tempat tidur Ibu.
Dasar. Dan sesekali aku terbatuk-batuk hingga bersin berkali-kali karena debu
yang beterbangan. Kadang tersenyum sendiri jika ingat lagi Ibu yang pastisenang
melihat kamarnya nanti. Terus menyapu debu yang menempel dibuku-buku dengan
kemoceng. Hingga ketika tanganku menemukan kotak kecil didalam salah satu
kardus dikolong kasur, aku benar-benar terkejut saat membuka isi kertas demi
kertas didalam kotak tersebut.
Dari lipatan –lipatan lembaran kertas
itu aku sungguh baru tahu. Satu adikku ternyata sudah pandai menulis sekarang.
Menulis sesuatu yang benar-benar mengagetkan diriku. Maka dengan hati yang sedikit
naik pitam, kusisihkan kotak kecil itu segera. Dan berhenti sejenak menenangkan
diri mencari solusi terbaik.
Aku, anak perempuan Bapak satu-satunya. Yang
mengerti untuk ganti meneruskan tugas Bapak menjaga adik-adikku dalam proses
tumbuh kembangnya. Dan sekarang, yang baru aku sadari, aku telah kecurian.
Adik-adikku tersayang, sungguh
aku belum mampu menjaga mereka sepenuhnya. Dan bulir air mata keluar begitu
saja membasahi pipiku. Rasa bersalah pada Bapak serasa memelukku erat kini. Mengungkung hingga kedalam hati.
**
Azan maghrib baru saja terdengar
berkumandang menghiasi langit kota kami. Kamar Ibu sudah rapi sejak satu jam
yang lalu. Aku juga sudah bersih-bersih diri dan mengambil wudhu. Sajadah kugelar dilantai. Beranjak
mengucap niat, aku memulai shalatku.
Tidak seperti biasanya, selesai salam
aku hanya bisa duduk termenung memandangi sajadah yang terhampar dihadapan.
Menggeming. Tidak tahu harus berkata apa. Seolah tak mampu pula aku menadahkan
tangan. Yang aku tahu, Allah pasti telah mengetahui segalanya. Termasuk isi
hatiku.
Aku masih diam termangu. Hingga beberapa
saat kemudian satu bulir air keluar dari pelupuk mata. Disusul bulir demi bulir
berikutnya. Refleks, akupun tergerak untuk menyungkur bersujud. Menangis
sejadinya. Mohon kekuatan pada Sang Illahi Rabbi.
“Allah… Sungguh tidak ada daya dan upaya
melainkan dari Engkau, Rabb..”. Meski suara serak mengeluarkannya, hanya itulah
satu-satunya kalimat yang bisa kuucap sekarang.
Ya. Keluarga kita adalah keluarga kita
sampai akhir. Yang semoga saja bersatu kembali dalam syurga-Nya esok.
Siapa yang tega dan tak merasa sakit
jika diantara kita mesti berpisah nanti? Apalagi jika terpisah dalam keadaan
yang lain menderita kelak karena siksa-Nya. Dan sungguh aku tak ingin. Maka
detik itu, saat aku sadar tak bisa selalu mengawasi dan menjaga mereka,
adik-adikku tersayang, keluargaku, dari jarak yang dekat. Aku tahu harus
menyerahkan kepada siapa duduk masalahku. Dan sudah tentu, jawabannya hanyalah
kepada Allah. Karena cukuplah Allah sebagai sebaik-baik wakil. Pemelihara
terbaik.
Dalam sujud aku masih tersedu sedan. Ku
tarik lagi nafasku panjang.
“Allah, Engkau satu-satunya Tuhanku yang
Maha mendengar.. Mulai saat ini hanya kepadaMu kutumpukan semua harapan untuk
menjaga keluargaku agar selalu baik-baik saja dan dalam kebenaran selamanya.
Saat aku tak lagi bisa membimbing disamping dan menemani perjalanan begitu
dekat disisi”.
Aku kembali terduduk. Menangkupkan kedua
tangan diwajah, mengaminkan. Sujudku berakhir dengan perasaan yang begitu lega.
Rasa sedih yang sedari tadi menjalar mulai lepas memudar. Aku mengusap bekas
tangis yang masih tersisa dengan tangan. Esok pagi, aku tahu apa yang harus
kulakukan selanjutnya.
**
Matahari tengah bersinar terik. Jam
dinding sudah menunjukkan pukul dua siang kurang sebelas menit. Aku sedang
bersama Tanteku di ruang makan. Mengajaknya bercanda dengan isyaratku. Ya,
karena beliau tunarungu setelah kecelakaan dimasa kecilnya. Jadilah, rumah ini
akan sangat sepi saat yang lainnya pergi. Apalagi setelah nenek tiada. Tak ada
lagi yang cerewet mengomeliku seperti dulu. Dan aku tahu tugasku untuk menemani
Tante dirumah. Merelakan kesempatan ke kampung Bapak bersama yang lain kemarin.
“Ini enak sekali,” aku mengangguk-angguk
berkomentar sambil menggerakkan tangan menunjuk masakan yang terhidang dan
mengekspresikan wajah puas usai makan. Membuat Tante seperti berkata “Ya
iyalah, Tante yang masak, bukan kamu”. Kemudian ia tertawa kecil berikutnya,
meledekku. Sewaktu aku berpura-pura merengut memasang tampang cemberut,
terdengar bunyi pintu depan terbuka.
“Assalamu’alaikum..! Kami pulang!!”
suara cempreng Imam terdengar amat nyaring. Diikuti salam dari yang lain
setelahnya.
“Wa’alaikumussalam..” jawabku dari ruang
makan.
Setelah kuletakkan piringku di belakang,
aku segera melangkah menuju ruang tengah.
“Wah, sudah pulang nih dek? Mana
oleh-olehnya untuk mbak?” aku mengacak-acak lagi rambut Imam, gemas. Kemudian
menyalami Ibu yang kulirik langsung melepas penat ke kamar. Menjadikan aku
tersenyum dalam hati. Berharap semoga Ibu senang.
Dika dan mas Rifki kujumpai kemudian. Menyalami
mereka satu per satu.
“Oleh-oleh apa? Mbak kan tidak minta
kemarin.” Imam memasang tampang polosnya.
“Oh..begitu? Ya sudah, besok kalau mbak
Riri balik ke Jogja tidak usah bawa oleh-oleh lagi lah,” aku menggoda adikku.
Yang sekilas dilirik langsung merengek memegangi lenganku. “Yah, mbak Riri
jangan begitu dong,”
Aku tertawa puas. Dasar Imam adikku yang
paling menggemaskan.
“Ya sudah, ayo-ayo makan dulu semuanya.
Setelah itu langsung shalat,” ujarku mengingatkan.
“Makan?” Dika berseru, “Oh sudah pasti
itu..”
Dika yang sepertinya sudah daritadi
merasa lapar pun mengajak kakak dan adiknya juga ke ruang makan. Meninggalkan aku
yang tersenyum menatap mereka.
**
Dika mengimami Imam shalat zhuhur
dikamar Ibu. Dan aku menunggu mereka selesai ditempat yang sama. Sambil kembali
membaca ulang kertas ditanganku. Sepucuk surat istimewa untuk salah satu adik
spesialku yang kutulis semalam.
Mereka sudah mengakhiri shalat dengan
salam. Usai berdo’a, Imam yang sempat heran melihatku justru dipanggil Ibu
menjaga warung depan rumah disaat ia nampak hendak bertanya.
Dika baru saja melipat sajadahnya ketika
aku mulai akan bicara padanya. “Dik, boleh Mbak Riri mengobrol dengan kamu
sebentar?” Aku mengambil nafas panjang. Menghembuskannya perlahan kemudian.
“Sini kamu duduk dekat Mbak,” lanjutku
lagi.
Meski sejenak mengerutkan kening, Dika
menurut.
“Ada apa Mbak?” Dika bertanya setelah
mengambil posisi duduk yang pas baginya. Sepertinya dia tahu ini akan jadi
acara mengobrol yang cukup lama.
Aku mengulum senyum sejenak. Mengucap
bismillah dalam hati.
“Begini Dik, sebelumnya Mbak minta maaf ya?”
Aku berhenti sebentar membuat Dika bingung. “Karena kemarin sewaktu merapikan
kamar Ibu ini, Mbak Riri menemukan kotak kecil biru dibawah tempat tidur dan
lembaran kertas-kertas kamu didalamnya. Maafkan Mbak yang melihat isi
surat-surat kamu, sebab niat awal Mbak cuma ingin memisahkan barang yang tidak
penting biar kamar Ibu rapi.”
Dan kalimat pembuka dariku itu sempurna
membuat kerut di kening Dika memudar seketika. Aku tahu dia terkejut. Adikku
satu itu langsung menunduk. Maka disaat itulah aku mengulurkan sepucuk suratku
untuknya. “Ini, mbak tulis semalam untuk kamu. Dan Mbak Riri harap kamu mau
baca ini, Dik.”
Dika menatapku sekilas. Lalu mengambil
surat itu dari juluran tanganku. Sambil membaca tulisan didalam surat tersebut,
aku tetap menjelaskan maksud yang hendak kusampaikan kepadanya. Dika memang
jadi lebih banyak diam mendengarkan sampai acara mengobrol kami selesai. Tapi
aku yakin, Dika juga anak Bapak yang mengerti untuk selalu berusahamenjadi anak
baik.Dan surat-surat dari seorang remaja putri untuk adikku itu, aku tak tahu
akan diapakan lagi oleh Dika. Sebab diakhir obrolan, Dika bilang mulai saat ini
berjanji akan belajar mengendalikan hatinya dengan benar. Seperti Ali dan
Fatimah, yang kisahnya kuselipkan pula dalam isi suratku.
Ya.
Terkadang kita memang harus bertarung dalam memberikan pemahaman baik kepada
orang-orang yang disayang. Bertarung dengan siapa? Tentu saja dengan keadaan
zaman yang semakin memprihatinkan. Tontonan yang kurang mendidik, lingkungan
luar yang kadang seakan membenarkan penyimpangan. Benar, dengan semua itulah
kita mesti bertarung. Dan agama dengan semua rasionalitasnya yang sempurna
ialah benteng serta perisai yang selalu bisa menguatkan pertahanan.
Dan
beginilah, aku berpikir tidak ada salahnya menceritakan kisah-kisah hebat yang
nyata lagi menakjubkan itu kepada adik-adik kita. Karena semakin hari, tontonan
yang seolah mewajarkan pacaran semakin marak. Baik di televisi maupun didunia
nyata. Maka kepada adik-adikku tersayang, aku merasa tak apa-apa memberikan
pelajaran terbaik lewat kisah yang ada. Sungguh jalan kita masih panjang. Semoga
setelah ini, pemahaman untuk terus saja menjadi diri yang baik selalu menemani
langkah mereka.
Dan
benar sikap dari satu teladan kita. Ali bin Abi Thalib ra. Ketika perasaan itu
hadir, hanya ada dua pilihan. Dialah perjuangan atau pengorbanan. Karena jalan
kita masih panjang, maka melepaskan adalah salah satu solusi terbaik demi
mencari keridhaan-Nya selagi kesempatan dan kesiapan belum hadir. Dan tak
mengapa bila nanti tidak bertemu kembali dengan yang diharapkan. Akan ada ganti
yang lebih baik. Seperti cerita antara Umar dan putrinya Hafshah, Utsman, serta
Rasulullah saw. Aku yakinkan Dika bahwa pasti skenario-Nya lebih baik lagi.
Ya.
Sekali lagi, bagiku duduk bercengkerama membahas hal seperti itu dengan
adik-adik tersayang tidaklah mengapa. Justru, pemahaman baik sejak awal semoga
bisa menjadi pacuan semangat untuk meninggalkan yang salah.
Dan inilah aku, anak perempuan Bapak,
yang akan tegas membenarkan kebenaran dan meneladankannya kepada keluargaku,
khususnya adik-adikku. Menyadarkan kesalahan dan meluruskannya semampuku. Sebab
yang ramai orang mengerjakan juga belum tentu benar.
Ya. Akulah anak perempuan Bapak. Akan
kujadikan diriku tameng terdekat mereka dalam memfilter hal-hal diluar. Dan dengan
do’a ku dari kejauhan. Dimanapun dan kapanpun, semoga Tuhanku selalu melindungi
mereka dalam kebaikan. Dan semoga saja kelak bisa kami dipertemukan kembali di
syurga-Nya. Sungguh akan selalu menyenangkan membayangkannya. Saat semua anak-anak
Bapak dan Ibu membanggakan dunia akhirat.Dan itu sungguh satu rahasiaku pula.
Cita-cita terbesarku. Kumohon, jangan bilang-bilang pada adik juga kakakku ya?!
** T A M A T **